Mengenal Budaya Masyarakat terhadap Rasa Takut akan Kematian melalui Pemikiran Zygmunt Bauman
Permata Egi Khoirunnisa (20107020034)
Zygmunt Bauman merupakan seorang Profesor
Emeritus Sosiologi di Universitas Warsawa (Polandia) dan Universitas Leeds
(Inggris). Beliau lahir pada 19 November tahun 1925 di Poznan, Poland. Bauman
meruapakan salah satu dari sekian banyak cendekiawan paling berpengaruhi di
Eropa. Bauman dikenal melalui karya-karyanya terkait masyarakat kontemporer dan
pengaruhnya terhadap komunitas dan individu. Dalam empat dekade kontribusinya, beliau
telah menebitkan lebih dari 25 buku dalam bahasa Inggris serta berbagai artikel
dari jurnal yang telah beliau ciptakan. Salah satu karya yang membawanya meraih
penghargaan European Amalfi Prize (1989), hedor W. Ardono (1998)
dan Prince of Asturias Award for communication and humanities. (2010) yaitu,
Modernity and Holocaust pada tahun 1989. Selain itu terdapat karya-karya
lainnya, seperti Culture as Praxis (1973), Modernity and Ambivalance (1991),
Postmodernity and Its Discontents (1997), Globalization: The Human Cosequences
(1998), The Individual and Society (2001), Wasted Lives:
Modernity and Its Outcasts (2003) dan Strangers at Our Door (2016).
Salah satu teori yang dikemukakan oleh Bauman dalam bukunya yang berjudul “Morality Immortality and Other Life Strategies” terkait identifikasi keberadaan kematian dalam budaya masyarakat. Menurut Bauman (1992:7), dengan adanya budaya di masyarkat menjadikan terciptanya makna yang dapat dihayati atas hidup yang sedang dijalani. Namun, bagaimanapun peran budaya tersebut dalam mengatasi psikis manusia terkait rasa takut akan kematian tidak dapat berfungsi sepenuhnya. Menurut Bauman, hal ini disebabkan oleh ambivalensi atau keabsahan budaya yang diciptakan, dioperasikan, dilaksanakan dan diindetifikasi signifikan dalam kehidupan manusia. Dalam pemahaman modernitas, kematian menjadi sarana berupa kesempatan dalam merancang kehidupan yang bermakna melalui berbagai strategi. Dalam pemahaman saya, kematian dapat dipahami sebagai ujung dari tatanan sosial dalam kesadaran manusia untuk memahami realitas dari kematian tersebut. Sebagai manusia yang memiliki akal modern dan meluhurkan rasionalitas akan merancang berbagai metode untuk menghadapinya.
Pemikiran
tersebut dapat dikatakan sesuai dengan didukungnya pengalaman yang pernah saya
alami dimana kini manusia menjadikan fenomena kematian sebagai bentuk pandangan untuk memaksimalkan kehidupannya, seperti saat saya kehilangan seseorang yang
memiliki hubungan dekat dengan saya. Saya tidak menjadikan kematiannya sebagai alasan timbulnya
rasa takut apabila sewaktu-waktu itu terjadi pada kehidupan saya. Namun kematian sendiri menjadi
acuan dan pengingat bagi kehidupan saya dalam arti saya dapat melakukan lebih banyak
aktivitas yang bermanfaat dan bermakna. Maka dari itu kita sebagai manusia dapat melakukan kegiatan positif namun perlu ditanamkan pada mindset kita bahwa kematian merupakan hal wajar bagi setiap insan yang bernafas, sehingga tidak menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman dalam diri kita.
Referensi
Jacobsen, M. H., & Poder, P. (2008). The Sociology of Zygmunt Bauman : Challenges and Critique. New York: Routledge. Retrieved September 19, 2021, from https://books.google.de/books?hl=id&lr=&id=F92qCwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=zygmunt+bauman+biografi&ots=mLkEqZt-le&sig=1VQjMZJuKtzuP1lPb2uT-PQhE2o&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
Putranto, H. (2012, Febuari 28). Dekonstruksi Kematian Sebagai Sebuah Obsesi Modernitas: Refleksi Atas Pemikiran Zygmunt Bauman. Jurnal Melintas, 28(2), 207-236. doi:10.26593/mel.v28i2.283.207-236
Komentar
Posting Komentar